Sunday, July 29, 2012

Sekilas tentang kiprah NAMRU 2 (Laboratorium Racun Angkatan Laut AS) di Indonesia

Senin 2 Maret 2009, warga Jakarta dihebohkan dengan fenomena aneh diangkasa. Matahari belum pada titik puncaknya, sederet awan terlihat memanjang menghiasi langit Jakarta. Deretan awan ini berbeda dengan gumpalan awan disekitarnya. Awan ini mirip asap pesawat.

Sontak kepanikan warga langsung meningkat, sensitifitas pasca bencana gempa bumi dan tsunami disejumlah wilayah Indonesia yang bericirkan awan sejenis.  “Gempa Yogya” dan “Gempa Aceh” pun kabarnya ditingkahi awan aneh memanjang. Fenomena “awan gempa” itu telah dipercaya, menjadi pertanda akan munculnya gempa bumi. Ciri-ciri awan gempa diantaranya, mucul tiba-tiba, muncul dari suatu titik tertentu yang posisinya tetap dan bentuknya berbeda dengan awan hasil konsiderasi(cirrus, stratus dan cumulus).


Pihak Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) langsung mengklarifikasi, bahwa awan tersebut adalah awan cirrus. Bentuk awan dipengaruhi angin dan kelembapan pada lapisannya. Apakah benar awan mirip asap pesawat jet itu awan biasa? Sesungguhnya, awan aneh tersebut akan membawa malapetaka di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Asap itu tidak lain adalah Ethylene Bromide dan debu micro fiber yang sengaja disebarkan pesawat asing. Analisis ini dikemukakan pengamat intelijen Jerry D. Gray.

Jerry menyatakan, awan aneh itu merupakan jejak-jejak kimia (chemical trails/ chemtrails) yang berisi aerosol bermuatan virus maut. Chemtrails sesungguhnya berbeda dengan Contrail (asap dari pesawat jet biasa). Chemstrail dihasilkan dari mesin pesawat jet yang terbang dengan ketinggian 33 ribu kaki dan terendah dalam ribu kaki dengan kandungan zat beracun salah satunya seperti yang sebutkan sebelumnya. Dan  memiliki cirri-ciri khusus diantaranya, berbentuk asap putih kekuningan, tipis melebar, lurus kebelakang pesawat, membentuk garis panjang melintasi awan dan tidak cepat hilang.

Sedangkan Contrail adalah  normal berwujud Kristal es lembut yang terbentuk oleh mesin pesawat pada ketinggian 31 ribu kaki atau lebih. 

Jika ketinggian di bawah 31 ribu kaki, jejak konsiderasi tidak akan terbentuk di belakang pesawat.
Lantas apa maksud dari penyemprotan Chemtrail yang dilakukan oleh pesawat asing diatas langit Jakarta ? Analisis pengamat intelijen Jerry D. Gray mengemukakan, hal tersebut merupakan realisasi dari Depopulation Program (Program Pengurangan Populasi Dunia)

Khusus  penyemprotan Chemtrails pada Maret 2009 dilakukan untuk “mempersiapkan” warga Jakarta dan sekitarnya “menerima” virus flu burung (H5N1) yang telah dimodifikasi. 

Jerry D Gray yang mantan anggota USAF , menyikapi kurang awasnya pemerintah dan masyarakat Indonesia melihat penggunaan senjata biologi yang mengancam kedaulatan Indonesia. “Pihak asing yang ingin ‘menguasai’ negara ini tidak perlu melakukan perang yang mahal. Tetapi, cukup dengan melemahkan kesehatan penduduknya melalui zat-zat kimia”, terang Jerry.

“Kontrol populasi”, itulah sepertinya yang hendak dituju. Langkah ini merupakan bagian dari operasi intelijen depopulasi yang dijalankan oleh kelompok New World Order dengan mengadopsi skenario kaum Pagan. Kaum Pagan telah menetapkan, bahwa program depopulasi akan digelar intens mulai Desember 2012.  Ini semua dilakukan guna mewujudkan populasi dunia sebatas 500.000.000 jiwa saja. Sungguh ide gila.

NAMRU 2 (Naval Medical Research Unit 2)

NAMRU2.jpgSelain menggunakan Chemtrail sebagai senjata pemusnah, di Indonesia pernah juga bercokol laboratSeorium kuman terbesar di Asia Tenggara dengan nama NAMRU 2.

Naval Medical Research Unit 2 (NAMRU2) adalah laboratorium yang dijalankan oleh Angkatan Laut USA yang BERTAMENGKAN KEKEBALAN DIPLOMATIK.

Jerry D. Gray mengungkapkan, bahwa di NAMRU 2 terdapat sebuah container yang berisi lebih dari satu juta nyamuk hidup yang telah terinfeksi malaria. Informasi tersebut didapat Jerry dari pengakuan Nancy Witham, salah satu peneliti di laboratorium NAMRU 2. Jika dilepaskan, nyamuk maut itu mampu menginfeksi sepuluh juta manusia dalam waktu singkat.

NAMRU2-1.jpgSejak awal, keberadaan NAMRU 2 di Indonesia memang untuk melakukan medical intelligence. NAMRU 2 melakukan pengembangan penyakit-penyakit tropis untuk kepentingan kesehatan keamanan anggota angkatan laut dan marinir AS.

Program NAMRU 2 adalah percobaan vaksin malaria, demam berdarah dan Heptitis E termasuk juga mengembangkan breeding colony nyamuk Anopheles  (Malaria) dan Aedes Aegypti (Demam Berdarah). NAMRU2 juga mendirikan laboratorium lapangan di Jayapura yang memfokuskan pengembangan nyamuk malaria.

Jika memang NAMRU 2 ditujukan untuk membasmi peredaran virus-virus mematikan, mengapa malaria dan demam berdarah justru semakin menjadi teror yang menakutkan di Indonesia?

Adalah inspeksi mendadak menteri kesehatan kala itu Siti Fadilah Supari ke NAMRU 2 membuat  NAMRU 2 menjadi terkenal dan menyita perhatian masyarakat. Pasalnya ketertutupan lembaga tersebut menjadi kecurigaan bahwa lembaga tersebut didirikan untuk aktifitas intelejen di Indonesia.
Kecurigaan ini bisa dianggap wajar, pasalnya intelejen Amerika Serikat seringkali ikut melakukan manuver dalam mempengaruhi politik dalam negeri di Indonesia. Salah satunya, munculnya dokumen CIA yang memuat aktifitas intelejen negeri Paman Sam tersebut dalam pelengseran Presiden Soekarno.

NAMRU 2  berdiri pada tahun 1853, yaitu saat Kongres AS membangun fasilitas penelitian medis Angkatan Laut di Brooklyn, New York. NAMRU 2 menjadi salah satu bagian dari lima laboratorium penelitian penyakit tropis Amerika Serikat  di luar negeri. Laboratorium lainnya berada di Thailand , Mesir, Kenya, dan Peru.

Kedatangan NAMRU 2 di Indonesia berawal dari permintaan pemerintah Indonesia pada tahun 1968, agar lembaga riset Angkatan Laut AS itu meneliti wabah penyakit Sampar di Jawa Tengah. Berkat rekomendasi NAMRU 2, wabah Sampar yang sempat merajalela berhasil dijinakkan.

Dua tahun kemudian, terjadi wabah Malaria di Papua, Indonesia kembali mengundang Namru 2. Tapi kali ini lembaga tersebut meminta adanya MoU. Makanya ditandatanganilah Mou antara Menkes RI saat itu, GA Siwabessy dengan Duta Besar Amerika Serikat  saat itu, Francis Galbraith.

Kemudian, MoU itulah yang dijadikan landasan hukum bagi NAMRU 2 tetap berada di Indonesia, sekalipun tidak ada lagi lagi wabah penyakit menular ataupun Indonesia tidak lagi membutuhkan bantuannya.

Bagai kuda Troya di halaman kita.

Sejak saat itulah hingga  40 tahun laboratorium kuman ini beroperasi di Indonesia, kehadirannya persis seperti siluman, dan pihak tuan rumah selalu merasa tak berdaya menghadapinya. Kalau semula NAMRU 2 datang karena diundang untuk menolong, belakangan lembaga ini sendirilah yang ingin bertahan di sini, dan mulai bertindak semaunya.

NAMRU2-2.jpgAntara tahun 1980 dan 1985 pemerintah berusaha merevisi perjanjian dengan NAMRU. Namun selagi para pejabat kita memutar otak untuk membuat regulasi yang membatasi ruang gerak lembaga ini di Indonesia, NAMRU malah mendirikan laboratorium di Jayapura. Alasannya, untuk meneliti malaria di sana, padahal pada masa itu malaria bukan lagi masalah siginifikan di Irian Jaya.

Kemudian pada tahun 1991, AS menaikkan status NAMRU yang tadinya setingkat detasemen menjadi tingkat komando. Pada saat bersamaan status NAMRU di Filipina diturunkan, dan bahkan akhirnya ditutup pada 1994. NAMRU di Jakarta kemudian diberikan kedok sebagai lembaga riset kemanusiaan, dengan meminjam tangan WHO yang menetapkan NAMRU sebagai pusat kolaborasi untuk berbagai penyakit di Asia Tenggara.

Pada tahun 1998, Menteri Pertahanan/Panglima TNI, Wiranto mendesak pemerintah, agar kerjasama dengan NAMRU dihentikan. Wiranto menjelaskan di dalam rapat kabinet, kehadiran 23 peneliti lembaga AS itu—yang nota bene mendapat fasilitas kekebalan diplomatik, sangat tidak menguntungkan bagi kepentingan pertahanan dan keamanan Indonesia.

Kemudian pada 1999, Menteri Luar Negeri Ali Alatas menyurati Presiden BJ Habibie. Dijelaskannya, keberadaan NAMRU sangat berkaitan erat dengan Protokol Verifikasi Konvensi Senjata Biologi. Protokol itu akan membebani Indonesia, khususnya dalam hal deklarasi dan investigasi karena area investigasi yang ditetapkan harus seluas 500 kilometer persegi; sedangkan NAMRU ada di tengah kota Jakarta, tepatnya di  Berada di  komplek Balitbang Departemen Kesehatan di Jalan Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat.

Selama ini, semua upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengontrol NAMRU tidak pernah dipublikasikan, sehingga rakyat Indonesia tidak tahu apa-apa. Penduduk Jakarta pun pasti tidak pernah bermimpi bahwa sebuah laboratorium kuman terbesar di Asia Tenggara ada di kota mereka. Lokasi laboratorium ini di Rawasari, Jakarta, adalah kawasan padat penduduk dan dekat dengan pasar tradisional. Bayangkan kalau ada kuman berbahaya terlepas, penduduk akan mati konyol tanpa pernah mengerti apa yang terjadi.

Para peneliti NAMRU 2 rajin memburu virus penyakit ke seluruh pelosok Indonesia, termasuk daerah rawan dan terpencil. Ditambah lagi, personel militer AS yang bertugas ternyata memiliki paspor diplomat yang terkadang mengirim dan menerima paket berisi virus dari dan ke berbagai kawasan di dunia. Laboratorium ini juga terkesan tertutup dan dijaga ketat.

Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani Menteri Kesehatan Dr. G.A. Siwabessy dan Duta Besar Amerika Serikat, Francis Galbraith pada 1970 lalu, posisi personel berkewarganegaraan Amerika sangat kuat. Mereka diberi kekebalan diplomatik layaknya pejabat kedutaan. Mereka mendapat kebebasan pajak pengimpor mobil, sepeda motor, dan barang-barang lainnya. Segala keperluan pribadi masuk dalam klausul ini.

Perjanjian itu juga mewajibkan pemerintah Indonesia menyediakan rumah yang memadai bagi para personel NAMRU 2 asal Amerika. Tanah tempat laboratorium pun diberikan gratis, termasuk perawatan dan perbaikannya.

Meski begitu, klausul lainnya di dalam MoU tersebut, setiap 10 tahun kerjasama tersebut dapat ditinjau kembali. Terakhir izin operasi NAMRU 2 berakhir pada tahun 2005.

Namun entah kenapa NAMRU 2 masih tetap bercokol dan diduga masih melakukan aktivitasnya hingga tahun 2009. Baru setelah kunjungan mendadak menteri Siti Fadilah Supari ke laboratorium tersebut dan melihat apa yang sebenarnya terjadi surat keputusan resmi tentang penghentian izin operasional NAMRU 2 dikeluarkan.

Endang.jpg
Alm. Endang Rahayu Sedyaningsih
Namun fakta berbicara lain, ketika Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II diumumkan. Siti Fadilah Supari lengser digantikan oleh Endang Rahayu Sedyaningsih (almarhumah). Menteri kesehatan ini mewacanakan akan melakukan kerjasama dibidang penelitian kesehatan dengan Amerika Serikat.

Bedanya Departemen Kesehatan tidak lagi bekerjasama dengan militer AS, tapi dengan pihak sipil. Nama Naval Medical Reseach Unit (NAMRU-2) pun secara resmi akan diganti dengan Indonesia Usaid Center for Biomedical and Public Health Center (IUC).

"Semua hal yang baik akan kita lanjutkan. Kita akan lanjutkan kerjasama tapi mungkin dalam bentuk penelitian yang lain," ungkap Endang yang ditemui di rumahnya di Kompleks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Duren sawit, Jakarta Timur.  Endang mengaku tak hanya memiliki akses kerjasama penelitian dengan militer AS. "Saya dekat dengan Namru-2, saya dekat Belanda, saya dekat dengan Jepang dan China," tutur Endang usai acara sertijab Menkes di Gedung Depkes, Jakarta, Kamis  22/10/2009 silam.

Endang beralasan, sebagai peneliti dirinya harus dekat dengan siapapun. Bahkan tidak hanya dekat, melainkan bekerja sama dengan berbagai pihak. "Jadi tidak ada saya dekat dengan ini dengan itu. Itu semua berbasis profesional dan kerjasama," ungkapnya.

Menteri Kesehatan terpilih Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua, Endang Rahayu Setyaningsih adalah staf Departemen Kesehatan, yang paling ‘dekat’ dengan Namru (The US Naval Medical Reseach Unit Two) atau Unit 2 Pelayanan Medis Angkatan Laut.

Endang adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1979, dan memperoleh gelar master dan dokter dari Harvard School of Public Health, Boston, masing-masing tahun 1992 dan 1997. Ia menjalani karier di bidang kesehatan dengan menjadi dokter puskesmas di NTT dan pernah menjadi dokter di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Ia juga pernah ditugaskan di Kanwil Departemen Kesehatan DKI Jakarta menjadi seorang peneliti, dan pernah menjabat Kepala Litbang Biomedik dan Farmasi Departemen Kesehatan.

“Dia (Endang) adalah mantan pegawai Namru. Dia memang sekarang ini tidak mempunyai jabatan khusus sebagai peneliti biasa,” kata Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam perbincangan dengan sebuah stasiun tv swasta, Rabu, 21/1O/ 2009 silam.

Munculnya nama Endang Rahayu Sedyaningsih di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II, memunculkan tudingan dia terlalu pro Amerika Serikat. Tetapi hal itu dibantah oleh mantan staf peneliti NAMRU 2 itu.

Siti_fadillah_supari_WHO.jpg
Siti Fadilah Supari
Endang mengakui bahwa semasa Menkes Siti Fadhilah Supari, dia sempat diskors karena dianggap berpihak kepada AS dalam soal virus flu burung. “Bagi saya ini persoalan yang tidak penting-penting amat. Dan ini wajar kalau atasan tidak senang kemudian menskors bawahannya,” kata Endang dalam wawancara dengan Media Indonesia, Rabu malam, 21/10/2009.

Anggota presidium Mer-C, Jose Rizal Jurnalis, mengungkapkan  tentang ketidakberdayaan pemerintah  Indonesia mengusir NAMRU 2 ketika kontroversi laboratorium itu baru-barunya muncul kepermukaan. Demonstrasi menuntut NAMRU hengkang dari Indonesia seakan tak membuat pemerintah bergeming. “Ini mental rendah diri penguasa. Padahal terkait keberadaan NAMRU 2 tergantung kepada keinginan baik pemerintah.” Tegasnya.

Menurutnya, penyakit-penyakit berbahaya yang di klaim diteliti NAMRU 2 tidak berhubungan langsung dengan Amerika Serikat. “NAMRU 2 mempunyai kekebalan diplomatik. Ini perlu dicurigai, kemana larinya sampel-sampel itu”

Jose memberi catatan, Indonesia lemah dalam menganalisis ancaman karena kajiannya masih pada “ekstrim kiri-ekstrim kanan”. ”Kajian di Lemhanas pun masih ekstrim kanan-kiri. Padahal, 1998, Indonesia hampir kolaps bukan disebabkan ekstrim kiri-kanan, tetapi serangan spekulan ekonomi Yahudi,” tegas Jose.

Pun tentang keputusan Endang, untuk membuka kembali kerja sama dengan Amerika Serikat, Jose menanggapi :"kami akan mengawasi perjanjian-perjanjian mereka. Kedua, awasi pelaksanaannya dan terakhir perilaku Menkes ini. Kita tahu dia dekat sekali dengan NAMRU"  Dia menambahkan, selama Endang menjalani tugasnya sebagai Menteri Kesehatan, pihaknya akan menyoroti akan condong ke mana Endang. Apakah pada pihak asing atau corporate, dalam hal ini farmasi. Jose juga menanggapi penggantian NAMRU-2 menjadi IUC yang menurutnya, peruntukan NAMRU bagi TNI AL dan IUC bagi sipil tak berpengaruh banyak.

"Yang kita persoalkan bukan sipil atau tidaknya tapi kalau penelitian tidak transparan, tidak bisa kita terima. Karena persoalan vaksin ini bukan seperti sekadar mengekspor tempe, tapi vaksin ini amat berguna di dunia militer," tandas Jose Rizal.

Tidak diketahui sepeninggal Endang Rahayu, apakah penggantinya (dalam hal ini Kementerian Kesehatan) masih menjalin kerja sama dengan IUC. Dan yang menarik adalah nama Siti Fadilah Supari kembali mencuat beberapa waktu lalu ketika diduga terkait kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (....Kenapa tiba-tiba?)


Apakah ini karena ulahnya membongkar borok di NAMRU 2 ? Atau ketika berang di WHO lantaran sampel virus H5N1 dari Indonesia yang awalnya untuk jadi penelitian WHO ternyata dipindahkan diam-diam ke laboratorium militer di Los Alamos AS ?


Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman, bahwa keberadaan NAMRU meski berganti nama akan kembali menimbulkan gejolak. (mss/z7)

Diolah dari berbagai sumber

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blogger Tips and TricksLatest Tips And TricksBlogger Tricks