Saturday, January 5, 2013

Kelompok Freemason dan Gagasan Pluralisme Agama

Oleh, Adnin Armas M.A*)
Faham bahwa pada intinya semua agama sama tidak terlepas dari pengaruh Freemason. Awalnya bermula ketika pengikut Freemason membentuk gerakan The Theosophical Society. Dalam perkembangannya, The Theosophical Society ikut menyumbang bagi terwujudnya hikmah abadi (Sophia Perennis). Pemikiran para tokoh Sophia Perennis seperti Rene Guénon dan Frithjof Schuon tidak terlepas dari ajaran dalam Freemason.

Freemason dan Teosofi
Freemason adalah sistem moral khusus, ditutupi dengan kiasan serta diilustrasikan dengan simbol-simbol.[1] Para sejarawan dari kalangan Freemason berpendapat paling tidak terdapat 3 teori yang menjelaskan sebab-musabab munculnya Freemason; 
Pertama, Freemason muncul sangat lama sekali seiring dengan klaim ritual Freemason itu sendiri, yaitu ketika Raja Salomo mendirikan Bait Suci dan Freemason sampai kepada kita sehingga kini sekalipun mekanismenya tidak diketahui.  
Kedua, Freemason adalah hasil dari karya para pembuat bangunan pada zaman pertengahan.
Ketiga, ritual Freemason berasal dari Laskar Kristus yang menjaga Bait Suci Salomo (King Solomon’s Temple) atau dikenal juga sebagai Ksatria Bait Suci (Knight Templar).[2]

Freemason telah tersebar di benua Eropa. Salah satu fakta awal yang tertulis menunjukkan bahwa cabang Freemason telah ada di Inggris pada tahun 1641. Robert Moray, salah seorang keluarga raja (Royal family), telah masuk menjadi anggota Freemason di Edinburgh pada tanggal 20 Mei 1641. Selain itu, Elias Ashmole, masih dalam lingkungan keluarga Raja Inggris, menulis dalam buku diarinya bahwa ia telahmenjadi anggota Freemason di Lancashsire, pada tanggal 16 Oktober 1646.[3]

Babak baru perkembangan Freemason adalah pada tanggal 24 Juni 1717. Sebabnya, pada tanggal tersebut Freemason telah menjadi organisasi Nasional dengan didirikannya Grand Lodge of England, yang merupakan gabungan dari 4 cabang Freemason. Para pengikut Freemason dalam Grand Lodge of England akan mengikuti agama yang semua manusia setuju… yaitu, menjadi Manusia yang Baik dan Benar (Religion is which all men agree… that is, to be Good Men and True).

Dengan terbentuknya Grand Lodge of England, gerakan Freemason semakin merebak sehingga berkembang melintasi benua Eropa sehingga ke benua Amerika. George Washington, yang menjadi President pertama AS Serikat pada tanggal 30 April 1789 adalah seorang anggota Freemason. Selain itu, para penanda tangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditanda tangani pada tanggal 4 Juli 1778 oleh William Hoper, Benjamin Franklin, Matthew Thornton, William Whipple, John Hancock, Phillip Livinston danThomas Nelson, kesemua mereka adalah pengikut Freemason.

Setelah mengurai sejarah Freemason dengan sangat ringkas, ada baiknya kita melihat bagaimana pengikut Freemason ikut mempelopori terbentuknya paham yang menyamakan agama. George Felt, seorang Freemason Yahudi, pada tanggal 7 September 1875 memberikan kuliah tentang “The Lost Canon of Proportion of the Egyptians,” di apartment Helena Petrovena Blavatsky (1831-1891), seorang aristokrat Rusia yang meninggalkan suami dan kemewahan harta karena merantau ke pegunungan Tibet selama bertahun-tahun. George Felt memfokuskan materi kuliahnya kepada penafsiran mistist terhadap ajaran (tradisi) Mesir yang hilang. Salah seorang peserta yang mengikuti kuliah tersebut, Henry Steel Olcott, seorang pengikut Freemason di New York, mengusulkan supaya semua peserta (berjumlah 17 orang) yang telah mengikuti kuliah George Felt agar membentuk sebuah kelompok yang akan meneliti lebih mendalam lagi mengenai tradisi kuno.

Blavatsky, guru Olcott menyetujui proposal tersebut. Sotheran, seorang Freemason, mengusulkan nama The Theosophical Society (Masyarakat Teosofis) bagi kelompok tersebut. Akhirnya, pada tanggal 17 November, 1875 diadakan pertemuan dengan 18 orang (termasuk George Felt) dan pada tanggal itu ditetapkan sebagai awal berdirinya The Theosophical Society.

Dalam pidato peresmiannya, kolonel Henry Steel Olcott (1832-1907), berharap kelompok tersebut akan membuat penelitian dalam perbandingan agama dan juga untuk menemukan “ancient wisdom,” khususnya dalam sumber sumber primer dari semua agama, buku-buku Hermes dan Veda (primeval sourceof all religions, the books of Hermes and the Vedas), dengan perkataan lain dalam Filsafat Abadi.[4]

Setelah kematian Olcott pada tahun 1907, posisi ketua dipegang oleh Annie Wood Besant (1847-1933). Besant, berasal dari Inggris, masuk menjadi anggota Theosophical Society pada tahun 1889 dan menjadi ketua gerakan tersebut dari tahun 1907 sampai akhir hidupnya (1933). Menurut Besant, teosofi ataupun agama universal (universal religion) dibangun atas 2 fondasi, yaitu Tuhan sebagai immanent sekaligus transendent dan solidaritas atau persaudaraan semua manusia. Sebuah doktrin keagamaan akan diuji dengan prinsip Semper, ubique et ab omnibus (Selalu, dimana saja dan dari semua).

Besant juga merumuskan ajaran teosofis sebagai berikut:
(1) The unity of God (kesatuanTuhan). Ajaran mendasar dari teosofi sebagaimana semua gama adalah kebenaran agamauniversal.
(2) The Trinity of the manifested God (Inkarnasi Tuhan dalam Trinitas) Tuhantermanifestasikan sebagi Logos.
(3) The hierarchy of beings (tingkatan wujud).
(4) Universal brotherhood (persaudaraan universal), yang berbeda dengan konsep‘kesetaraan’ (equality) ataupun ‘demokrasi’ (democracy).

Besant menyatakan tujuan Masyarakat Teosofis adalah mengajarkan kepada pengikutnya bahwa agama-agama adalah ungkapan dari hikmah ilahi yang lahir dan berasal dari Zat yang satu. Oleh sebab itu, keragaman dan perbedaan dalam manifestasi lahiriah dan bentuk bukanlah inti dari ajaran agama. Semua agama memiliki keaslian dan kebenaran karena berasal dari Zat yang satu.[5]

Ringkasnya, sejak dibentuk oleh 18 orang anggota di New York, The Theosophical Society telah berkembang menjadi organisasi internasional. Pada tahun 1879, markasnya dipindahkan ke Bombay, India. Tiga tahun setelah itu (1882), markasnya sekali lagi dipindahkan ke Adyar, pinggiran Madras. Akhir abad 19, The Theosophical Society telah memiliki 500 cabang dalam 40 Negara di Asia dan Barat, termasuk cabang yang ada di Perancis, yang diikuti oleh Gérard Encausse (m. 1916) pada tahun 1887.[6]
Rene Guénon dan Frithjof Schuon

Tertarik dengan gagasan Olcott dan Blavatsky, Gérard Encausse, seorang Freemason mendirikan cabang The Theosophical Society di Perancis. Nama samarannya dikenal sebagai Papus. Ia mendirikan Free School of Hermetic Sciences, sebuah sekolah yang mengkaji tentang mistis. Encausse menghidupkan kembali ajaran Martinist Order.

Nama lengkap De Saint-Martin adalah Louis-Claude de Saint-Martin, seorang Freemason dan bekas pegawai tentara yang punya ketertarikan dengan mistis dan Hermes. Martin meyakini: “Semua tradisi bumi harus dilihat sebagai berasal dari tradisi ibu yang fundamental bahwa, dari awal, telah dipercayakan kepada laki-laki yang berdosa dan kepada keturunannya yang pertama. (All the traditions of the earth must beseen as deriving from a fundamental mother-tradition that, from the beginning, wasentrusted to sinful man and to his offspring).

Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Count Joseph de Maistre, juga seorang Freemason dan teman dekat Saint-Martin bahwa: “Agama yang benar lahir pada hari ketika [semua] hari dilahirkan…, Konsep yang kabur [mengenai orang-orang kuno] tidak lain disebabkan banyaknya dari sedikit kelemahan dari tradisi primitive yang tinggal. (The True religion…was born on the daythat [all] days were born…, The vague conceptions [of the ancients] were no more thanthe more of less feeble remains of the primitive tradition).[7]

Pada tahun 1906, Rene Guénon (1886-1951), yang kelak menjadi pelopor Filsafat Abadi, masuk ke sekolahnya Encausse. Disana, Guénon bukan saja mulai mengenali kajian mistis (occult studies), namun juga berkenalan dengan sejumlah tokoh Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain. Guénon aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi dan aktifitas tentang mistis dan Freemason di Perancis.

Ringkasnya, Freemason merupakan ketertarikan Guénon yang paling besar sepanjang hidupnya (it remained of Guénon’s great interests throughout his life).[8] Bagi Guénon, Freemason adalah wadah dari luasnya hikmah tradisional, kaya khususnya dalam simbolisme dan ritual.

Guénon juga yakin bahwa Freemason adalah cara untuk menjaga banyak aspek dari Kristen yang telah hilang dan terabaikan.[9] Guénon menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada Tradisi dan agama. Guénon menyebutnya sebagai Primordial Tradition (Tradisi Primordial). Guénon, yang awalnya Katolik, selanjutnya “memeluk” Islam pada tahun 1912.[10] (nama Islamnya Abdul Wahid Yahya). Bagaimanapun, selama kehidupannya di Perancis, Guénon tidak dikenal telah mempraktekkan ritual Islam.

Guénon berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual.

Menurut Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition).

Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami Realitas Akhir.[11] Pengalaman spiritual Rene Guénon dalam gerakan teosofi dan Freemason mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran.

Salah seorang tokoh penerus pemikiran Guénon adalah Frithjof Schuon (1907-1998). Sejak berusia 16 tahun, ia telah membaca karya Guénon, Orient et Occident.Kagum dengan pemikiran Guénon, Schuon saling berkirim surat dengan Guénon selama 20 tahun. Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk pertama kalinya Schuon bertemu dengan Guénon di Mesir pada tahun 1938.

Schuon “memeluk” Islam dan dikenal sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhilial-Darquwi al-Alawi al-Maryami. Ia adalah seorang tokoh terkemuka dalam religioperennis (Agama Abadi). Ia menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas. Ia mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antarsemua agama-agama ortodoks.

Ia mengungkap Satu-satunya Realitas Akhir, YangMutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya. Dalam pandangan Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a common ground’. Ia berpendapat agama-agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik. Kedua dimensi ini yang inheren dalam agama berasal dari dan diketahui melalui Intelek (Intellect).

Menurut Schuon, secara psikologis, ego manusia terkait dengan badan (body),otak (brain) dan hati (heart). Jika badan diasosiasikan dengan eksistensi fisik, otak dengan fikiran (mind), maka hati (heart) dengan Intelek. Jika dikaitkan dengan realitas maka Intelek dapat diasosiasikan dengan Esensi Tuhan (Yang Satu) dan langit (alamyang menjadi model dasar) sedangkan fikiran dan badan meliputi dunia fisik, terrestrial.

Intelek sangat penting karena otak dan badan di bawah kendali, dan berasal dari Intelek.[12] Intelek adalah pusat manusia (the centre of human being), yang bersemayam didalam hati. Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Jika tidak, maka secara spiritual, Intelek tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan‘spiritualitas’ adalah bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Intelektualitas menjadi spiritualitas ketika manusia sepenuhnya, bukan Intelektualitasnya saja, hidup didalam kebenaran.[13]

Intelek lebih tinggi dari rasio karena jika rasio itu menyimpulkan sesuatu berdasarkan kepada data, maka mental berfungsi karena eksistensi intelek. Rasio hanyalah media untuk menunjukkan jalan kepada orang buta, bukan untuk melihat. Sedangkan Intelek, dengan bantuan rasio, terungkap dengan sendirinya secara pasti.

Selain itu, Intelek dapat menggunakan rasio untuk mendukung aktualisasinya.[14] Di dunia fisik, Intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Namun,hanya di dunia fisik Intelek terbagi. Di alam langit yang menjadi model dasar, atau didalam Ide Plato, fikiran dan badan merupakan makna yang tidak dibedakan: Fikiranadalah eksistensi dan eksistensi adalah fikiran.[15]

Manusia memahami kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, Intelekadalah dasar bagi intuisi. Intuisi intelek membedakan antara yang ril dan ilusi, antarawujud yang wajib dan wujud yang mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden diluardunia bentuk.[16]

Jadi, dengan Intelek, manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi dua, Absolut dan relatif, Ril dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan eksoteris. Menurut Schuon, agama-agama bertemu pada level yang esoteris, bukan eksoteris. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai esoteris dan eksoteris dalam pemikiran Schuon. 

Menurut Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam Maya, kosmos yang tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme berada di dalam Maya, yang relatif dalam hubungannya dengan Atma. Pandangan eksoteris bermakna pandangan yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari sudut pandang intelek adalah relatif.

Esoterisme dan Eksoterisme

Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran eksoteris adalah relatif.[17] Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada “huruf”,-- sebuah dogma esklusifistik (formalistik)--dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral.

Selain itu, eksoterisme tidak pernah akan melampaui individu. Eksoterisme bukan muncul dari esoterisme, namun muncul dari Tuhan.[18] Schuon menyadari jika masing-masing “form” agama meyakini bahwa sesuatu “form” itu lebih hebat dibanding dengan “form” yang lain. Pemikiran seperti itu, lanjut Schuon, sangat wajar. Perpindahan agama terjadi justru karena adanya superioritas sebuah “form” terhadap yang lain.

Bagaimanapun, superioritas tersebut sebenarnya relatif. Menurut Schuon, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat bentuk terakhir dari Sanatana Dharma. Schuon mengatakan.: “…Sama halnya, bahwa Agama Hindu adalah form yang paling tua yang masih hidup mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang terakhir (Islam)”.[19]

Esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik.

Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris bagaikan ‘badan’agama. Menurut Schuon, titik-temu agama bukan berada pada level eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence). Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Titik temu antar agama hanya ada pada level esoteris.[20]

Melalui esoterisme, manusia akan menemukan dirinya yang benar. Pandangan esoteris akan menolak ego manusia dan mengganti ego tersebut menjadi ego yang diwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan.[21] Esoterisme menembus simbol-simbol eksoterisme.
Sekalipun terkait secara inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen dari aspek eksternal, bentuk, formal agama.[22] Independensi tersebut karena esensi dari esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak teredusir kepada eksoterisme, yang memiliki keterbatasan.[23]

Pemaparan ringkas diatas menunjukkan gagasan Guenon dan Schuon yang memformulasi kesamaan agama dalam level esoteris adalah hasil interaksi mereka dengan para tokoh Freemason dan Teosofi. Gagasan pada intinya semua agama sama disebarkan pada awalnya oleh para pengikut Freemason, yang ingin merelevansikan ajaran-ajaran Yahudi, mistis, dan “hikmah kuno” (ancient wisdom) ke zaman modern.

Fote Note:
[1] E. L. Hawkins, “Freemasonry,” dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics, editor James Hastings, jilid6 (New York: Charles Scribner’s Sons), hlm. 120.
[2] Christopher Knight & Robert Lomas, The Hiram Key: Pharaohs, Freemasons and the Discovery of theSecret Scrolls of Jesus), hlm. 19-20.
[3] Francis A. Yates, The Rosicrucian Enlightenment
[4] Bruce F. Campbell, Ancient Wisdom Revived: A History of the Theosophical Movement (Berkeley:University of California Press,) hlm. 29. Selanjutnya diringkas Ancient Wisdom Revived.
[5] Annie Besant, “Theosophical Society,” dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics, editor JamesHasting, Jilid 12, 300-02.
[6] Bruce F. Campbell, Ancient Wisdom Revived, hlm. 43.
[7] Mark Sedgwick, Against the Modern World: Traditionalism and the Secret Intellectual History of theTwetieth Century (Oxford: Oxford University Press, 2004).
[8] Robin Waterfield, Rene Guénon and the Future of the West: The life and writings of a 20th-centurymetaphysician (Crucible, 1987), hlm. 36, selanjutnya diringkas Rene Guénon.
[9] Ibid., hlm. 130-131.
[10] Pietro Nutrizio dalam Rene Guénon, The Lord of the World, Terj. dari Le Roi du Monde (NorthYorkshire: Coombe Springs Press, 1983), hlm. 69.
[11] Robin Waterfield, Rene Guénon, hlm. 126.
[12] Frithjof Schuon, Gnosis: Divine Wisdom, Pen. G. E. H. Palmer (Middlesex: Perennial Books Ltd, 1990),hlm. 78-79, selanjutnya diringkas Gnosis.
[13] Frithjof Schuon, Spiritual Perspectives & Human Facts, Pen. P. N. Townsend (Middlesex: PerennialBooks Limited, 1987), hlm. 80, selanjutnya diringkas Spiritual Perspectives.
[14] Frithjof Schuon, Sufism: Veil and Quintessence, Pen. William Stoddart (Bloomington: World WisdomBooks, 1981), hlm. 26, selanjutnya disingkat Sufism.
[15] Frithjof Schuon, Gnosis, hlm.78-79.
[16] Frithjof Schuon, To Have a Center (Bloomington: World Wisdom Books, 1990), hlm. 55.
[17] Frithjof Schuon, The Transcendent, hlm. 15.
[18] Frithjof Schuon, Spiritual Perspectives, hlm. 79-80.
[19] Schuon mengatakan: “ … similarly, the fact that Hinduism is the most ancient of the living religious forms implies that it possesses a certain superiority or centrality with respect to later forms. There is not, of course, any contradiction here , since the standpoint is different in the two cases." Lihat Frithjof Schuon, The Transcendent, hlm. 36.
[20] Seyyed Hossein Nasr, The Essential Writings, hlm. 15.
[21] Frithjof Schuon, Gnosis, hlm. 70-71.
[22] Frithjof Schuon, Sufism, hlm. 32.
[23] Seyyed Hossein Nasr, The Essential Writings, hlm. 90-91.



*) Penulis adakah kandidat Doktor di ISTAC-IIUM dan peneliti pada The Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Info ini sudah ditulis juga di grup MSS pada 30 April 2012 (mss/a7)
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blogger Tips and TricksLatest Tips And TricksBlogger Tricks