Thursday, July 17, 2014

Memahami Perang Asimetris (Asymmetric Warfare)

Oleh : Kolonel Sus Drs. Mardoto, M.T. (Dosen Akademi Angkatan Udara)

Perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra -geografi, demografi, dan sumber daya alam-, dan pancagatra -ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang. [1]

Rujukan lain menyatakan;
“Asymmetric warfare” can describe a conflict in which the resources of two belligerents differ in essence and in the struggle, interact and attempt to exploit each other’s characteristic weaknesses. Such struggles often involve strategies and tactics of unconventional warfare, the “weaker” combatants attempting to use strategy to offset deficiencies in quantity or quality. Such strategies may not necessarily bemilitarized.This is in contrast to symmetric warfare, where two powers have similar military power[citation needed] and resources and rely on tactics that are similar overall, differing only in details and execution. [2]

( “Perang asimetris“ dapat digambarkan sebagai konflik di mana sumber daya dari dua pihak yang berperang berbeda dalam esensi dan dalam perjuangan, berinteraksi dan berusaha untuk mengeksploitasi kelemahan karakteristik masing-masing. Perjuangan seperti itu sering melibatkan strategi dan taktik perang konvensional, kombatan pihak yang “lemah” akan mencoba menggunakan strategi untuk mengimbangi kekurangan dalam kuantitas atau kualitas. Strategi tersebut belum tentu menggunakan militerisasi. Ini berbeda dengan perang simetris, dimana dua kubu memiliki kekuatan militer dan sumber daya yang sama dan mengandalkan taktik yang mirip secara keseluruhan, hanya berbeda dalam rincian dan eksekusi.)

STRATEGI


Dalam perang konvensional, kekuatan musuh mudah sekali diperkirakan kuantitas maupun kualitasnya, misalkan tentang kekuatan komando dan pengendaliannya. Sehingga strategi yang hendak digunakan relatif mudah dipelajari dan dibaca, sehingga dapat digunakan untuk dasar-dasar mengantisipasinya. Namun dalam perang asimetris hal ini sebaliknya. Sangat sulit bagi kita memprediksi kekuatan musuh, secara kuantitas dan kualitas.

Beberapa taktik yang memungkinkan hasil positif dalam perang asimetris, antara lain: [2]

  1. Satu sisi dapat memiliki keunggulan teknologi yang melebihi keuntungan numerik dari musuh; yang menentukan English Longbow sebagai contoh adalah pada Pertempuran Crécy atau Battle of Crécy.)
  2. Inferioritas teknologi atau technological inferiority, biasanya dibatalkan oleh infrastruktur yang lebih rentan yang dapat ditargetkan dengan hasil yang dahsyat. Penghancuran beberapa sumber listrik, jalan atau sistem pasokan air di daerah padat penduduk bisa memiliki efek buruk terhadap perekonomian dan moral, sementara pada kubu yang lemah mungkin tidak memiliki struktur ini sama sekali.)
  3. Pelatihan dan taktik serta teknologi dapat membuktikan, menentukan dan memungkinkan kekuatan yang lebih kecil untuk mengatasi sesuatu yang jauh lebih besar. Sebagai contoh, selama beberapa abad, penggunaan hoplite Yunani atau Greek hoplite’s (untuk infanteri berat) mereka membuat dan memakai phalanx yang jauh lebih unggul dari musuh-musuh mereka. The Battle of Thermopylae, yang juga melibatkan penggunaan medan perang yang baik, adalah contoh yang terkenal.
  4. Jika daya yang rendah berada dalam posisi membela diri; yaitu, diserang atau dijajah, sangat dimungkinkan untuk menggunakan taktik yang tidak konvensional, seperti taktik ‘serang lalu pergi’ (hit–and-run) dan juga pertempuran selektif dikala kekuatan superior lebih lemah, cara yang efektif menghajar namun tanpa melanggar hukum peperangan. Mungkin sebagai contoh sejarah klasik, doktrin ini dapat ditemukan dalam Perang Revolusi Amerika (the American Revolutionary War), sebuah gerakan dalam Perang Dunia II, seperti Perlawanan Perancis (French Resistance) dan partisan perang Soviet dan Yugoslavia. Perlawanan terhadap negara-negara agresor yang demokratis, strategi ini dapat digunakan untuk ‘bermain’ pada kesabaran para pelaku dalam konflik (seperti dalam Perang Vietnam dan perang-perang setelahnya) dengan cara memprovokasi para kontra dan para perselisihan antara legislator yang terpilih.)
  5. Jika kubu yang berdaya rendah berada dalam posisi yang agresif, dan/atau berubah menjadi taktik yang dilarang oleh hukum perang (jus in bello), keberhasilannya tergantung pada kekuatan menahan diri dari atasan, seperti taktik. Sebagai contoh, hukum perang darat melarang penggunaan bendera gencatan senjata atau kendaraan medis sebagai kamuflase atau penutup untuk melakukan serangan atau penyergapan, namun pejuang asimetris menggunakan taktik yang dilarang ini untuk keuntungan, tergantung pada ketaatan dan kekuatan superior terhadap hukum yang sesuai. Demikian pula, hukum perang melarang kombat yang menggunakan pemukiman sipil, berpopulasi atau fasilitas sebagai pangkalan militer, tetapi ketika kubu yang berdaya rendah menggunakan taktik ini, semua itu tergantung pada premis bahwa kekuatan superior akan menghormati hukum dan pihak yang lain melanggar, dan tidak akan menyerang target sipil, atau jika mereka melakukan propaganda yang akan memberikan keuntungan lebih besar daripada kerugian material. Seperti yang terlihat pada sebagian besar konflik yang terjadi pada abad ke-20 dan abad ke-21, ini sangat tidak mungkin karena keuntungan propaganda selalu melebihi kepatuhan terhadap hukum internasional, terutama dengan mendominasi sisi konflik apapun.
  6. Seperti disebutkan kali ini, adalah konflik Israel–Palestina adalah salah satu contoh terbaru dari perang asimetris. Mansdorf dan Kedar menjelaskan bagaimana perang Islam menggunakan status asimetris-nya untuk mendapatkan keuntungan taktis terhadap Israel. Pihak Israel merujuk pada mekanisme “psikologis” yang digunakan oleh pasukan seperti Hizbullah dan Hamas yang mau mengeksploitasi warga sipil mereka sendiri serta warga sipil musuh untuk mendapatkan keuntungan taktis, sebagian dengan cara menggunakan media untuk mempengaruhi jalannya peperangan.
Berikut tipologi strategi ideal yang digunakan dalam perang asimetris berdasarkan para aktor yang berperang : [3]

1. Untuk aktor yang kuat strategi yang digunakan dengan penyerangan : direct attack dan barbarism (serangan langsung yang brutal)
2. Untuk aktor yang lemah strategi yang digunakan dengan pertahanan : direct defense dan guerrilla warfare strategy (pertahanan langsung dan perang strategi gerilya)



This typology includes two assumptions: (1) strong actors initiated the asymmetric conict in question, and therefore “strong actor” and “attacker” are synonymous; and (2) these ideal-type strategies are war-winning rather than war-termination strategies.

Direct attack. Direct attack means the use of the military to capture or eliminate an adversary’s armed forces, thereby gaining control of that opponent’s values. The main goal is to win the war by destroying the adversary’s capacity to resist with armed forces. Both attrition and blitzkrieg are direct attack strategies. Some readers may Žnd inclusion of the blitzkrieg in this deŽnition puzzling, because it seems the very deŽnition of an indirect attack strategy. But because armored formations target enemy armed forces (the adversary’s capacity to resist) in a blitzkrieg, it counts as an indirect tactic but a direct strategy.

Historically, the most common pattern of a direct-attack strategy has been one in which an attacker’s forces advance to capture a defender’s values (a capital city, an industrial or communications center, or a bridge) or strategic assets (defensible terrain or a fort) and the defender moves to thwart that effort. A battle or series of battles ensue, sometimes marked by lulls lasting entire seasons, until one side admits defeat. 

Barbarism. Barbarism is the systematic violation of the laws of war in pursuit of a military or political objective. Although this deŽnition includes the use of prohibited weapons such as chemical and biological agents, its most important element is depredations against noncombatants (viz., rape, murder, and torture). Unlike other strategies, barbarism has been used to destroy an adversary’s will and capacity to Žght. When will is the target in a strategic bombing campaign, for example, the strong actor seeks to coerce its weaker opponent into changing its behavior by inicting pain (destroying its values). When will is the target in a counterinsurgency (COIN) campaign, the strong actor attempts to deter would-be insurgents through, for instance, a policy of reprisals against noncombatants. Strong actors can also target a weak actor’s capacity to sustain an insurgency by, for example, the use of concentration camps. Historically, the most common forms of barbarism include the murder of noncombatants (e.g., prisoners of war or civilians during combat operations); the use of concentration camps; and since 1939, strategic bombing against targets of no military value.

Direct defense. Direct defense refers to the use of armed forces to thwart an adversary’s attempt to capture or destroy values such as territory, population, and strategic resources. Like direct-attack strategies, these strategies target an opponent’s military. The aim is to damage an adversary’s capacity to attack by crippling its advancing or proximate armed forces. Examples include limited aims strategies, static defense, forward defense, defense in depth, and mobile defense.

The inclusion here of limited aims strategies may seem counterintuitive. Like preemptive or preventive attack strategies, these strategies begin with an initial offensive—say, attacking concentrations of enemy armed forces across an international border—but their ultimate aims are defensive. Limited aims strategies target an adversary’s capacity to attack by destroying vital strategic forces or by seizing key strategic assets (territory, bridges, promontories, etc.). They are most often employed by weak actors that have initiated wars against strong actors. Examples include Japan’s air assault on Pearl Harbor in 1941 and Egypt’s attack on Israel in 1973. 

Guerrilla warfare. Guerrilla warfare strategy (GWS) is the organization of a portion of society for the purpose of imposing costs on an adversary using armed forces trained to avoid direct confrontation. These costs include the loss of soldiers, supplies, infrastructure, peace of mind, and most important, time. Although GWS primarily targets opposing armed forces and their support resources, its goal is to destroy not the capacity but the will of the attacker.

GWS requires two elements:

(1) physical sanctuary (e.g., swamps, mountains, thick forest, or jungle) or political sanctuary (e.g., weakly defended border areas or border areas controlled by sympathetic states);

(2) a supportive population (to supply Žghters with intelligence and logistical support, as well as replacements).

The method of GWS is well summarized by perhaps its most famous practitioner, Mao Tse-tung: “In guerrilla warfare, select the tactic of seeming to come from the east and attacking from the west; avoid the solid, attack the hollow; attack; withdraw; deliver a lightning blow, seek a lightning decision. When guerrillas engage a stronger enemy, they withdraw when he advances; harass him when he stops; strike him when he is weary; pursue him when he withdraws. In guerrilla strategy, the enemy’s rear, anks, and other vulnerable spots are his vital points, and there he must be harassed, attacked, dispersed, exhausted, and annihilated.”

GWS is not a strategy for obtaining a quick, decisive defeat of invading or occupying forces. Moreover, because guerrillas cannot hold or defend particular areas, they do not provide security for their families while on operations or when demobilized to await new missions. GWS is therefore a strategy that requires placing key values (e.g., farms, family, religious or cultural sites, and towns) directly in the hands of the adversary. Logically then, important costs of adopting a GWS depend on both the purpose and the restraint of the adversary. When invading or occupying forces do not exercise restraint in the use of force, or when their purpose is the destruction of a weak actor’s people, GWS can become a prohibitively expensive defensive strategy.


TINGKAT KEBERHASILAN


Berdasarkan data yang dilaporkan [3] dapat kita simak adanya suatu fakta yang mengejutkan tentang tingkat keberhasilan dalam perang asimetris berdasarkan aktor yang bermain:




Terlihat bahwa makin ke arah sekarang dan yang akan datang adanya trend aktor perang asimetris yang lemah semakin memiliki peluang memenangkan perang ini lebih tinggi. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk para pemain perang asimetris dalam menyusun strategi yang lebih andal, karena aktor yang kuat bisa saja terkalahkan dengan olah strategi yang handal oleh pemain yang lemah.

BAGAIMANA DI INDONESIA?


Indonesia sesungguhnya telah menjadi sasaran perang asimetris. Penyebaran berita, acara, dan pentas-pentas yang merusak mental SDM Indonesia itu sudah merupakan contoh nyata adanya perang asimetris di Indonesia.  Strategi ini tergolong murah tanpa mengeluarkan biaya mahal, bahkan malah mengeruk uang rakyat, karena perang asimetris ini tidak menggunakan banyak senjata, cukup dengan menggegerkan media dengan Lady Gaga, isu provokatif stabilitas keamanan Negara sudah digoyang. 


Dengan digunakannya strategi asimetris oleh sebuah negara untuk melumpuhkan lawannya bukan berarti kekuatan konvensional tidak diterapkan lagi. Justru untuk mengantisipasi gagalnya upaya melemahkan suatu negara, pola perang kombinasi juga sering digunakan. 

Jadi hard power dan soft power digunakan secara cantik secara bersama, dengan kehebatan mind power di belakangnya.

Contoh perang konvensional yang mengembang, dapat kita lihat di Libya saat penumbangan Khadafy. Ketika strategi non-konvensional yang dilancarkan masih dianggap kurang mampu menundukkan Libya, AS lalu merubah strateginya dari non-konvensional menjadi konvensional dengan segera menyiapkan mesin-mesin perang yang dimilikinya beserta NATO untuk menggebuk kekuatan militer Libya yang masih bercokol dan mendapat dukungan dari sebagian rakyatnya. Alasan awalnya adalah NFZ
yaitu dari bahasa Polandia: Narodowy Fundusz Zdrowia atau ‘Zona Larangan Terbang’, atau dalam bahasa Inggris: A no-fly zone (no-flight zone), tapi itu sesungguhnya adalah kedok untuk mencapai tujuan sebenarnya.


Sejarah perang di Indonesia juga mencatat, selama konflik RI – Permesta berlangsung AS dengan dalih menjaga ladang minyaknya selalu berusaha masuk ke wilayah indonesia, melihat gelagat tidak beres yang ditunjukkan AS terhadap Indonesia TNI berusaha menggagalkan upaya tersebut dengan sesegera mungkin mengamankan ladang-ladang minyak AS sebelum sengaja dihancurkan oleh pemberontak Permesta yang bersekongkol dengan AS. 


Dengan begitu AS sudah dapat dipastikan tidak akan dapat masuk kewilayah RI karena tidak memiliki alasan kuat sebagai pembenarnya. Perlu diketahui, AS sudah menyiapkan Armada VII dekat perairan Singapura dan terus melakukan manuver perang sebagai langkah persiapan memasuki wilayah Indonesia. 

https://indocropcircles.files.wordpress.com/2014/06/defense-threat-war.jpg

Indonesia dulu berbeda dengan Indonesia sekarang, saat ini Indonesia bagi AS sudah dianggap sebagai “Good Boy” sehingga strategi konvensional masih belum saatnya disiapkan melihat tekanan dan lobi-lobi AS yang diberikan dengan dalih menjaga kestabilan kawasan masih bisa di turuti/diikuti oleh pemerintah indonesia. 

Jadi cukup dengan strategi Asimetris saja, AS sudah mampu menggoncangkan pemerintah Indonesia lewat isu, informasi, kebebasan, budaya, ekonomi, narkoba, korupsi dan lain sebagainya.

Seperti yang kita ketahui, Menurut Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Syamsoedin bahwa dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang asimetris. 

”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara,” ujarnya. (Kompas 28/3/2011)
Wamenhan mengingatkan, negara yang secara ekonomi dan kesenjataan lemah adalah sasaran utama perang asimetris. Sebagai contoh, media internet atau media massa tanpa sadar dipakai untuk memengaruhi cara berpikir atau melemahkan bangsa Pemberitaan dua media Australia mengenai kebijakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan situasi politik di indonesia beberapa waktu lalu juga termasuk upaya pemerintah Australia dalam melancarkan strategi Asimetris dengan tujuan menggoyahkan stabilitas pemerintah indonesia lewat jaringan informasi. Karena saat ini begitu mudah semua informasi diakses lewat media jaringan seperti Youtube, Tweeter, Facebook, Media Cetak maupun Elektronik.

Indonesia sendiri sebenarnya memiliki daftar panjang dijadikan sasaran perang asimetris. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus melakukan perang asimetris terhadap pendudukan Belanda hingga 1950, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua, dan lainnya.

Seorang pakar, Tamrin, dalam salah satu presentasinya yang berjudul “Perang Asimetris, Tanggapan dan Penajaman”, membahas mengenai ancaman asimetris di bidang sosial-budaya dan agama, menyatakan beberapa argumentasi bahwa yang pertama adalah tidak meratanya persebaran suku-suku di Indonesia. 


Seperti diketahui, di Indonesia terdapat 653 suku bangsa. Akan tetapi dari Sumatra hingga Jawa (kecuali Sumatra Selatan) hanya terdapat beberapa suku mayoritas. Sebaliknya di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, banyak sekali suku bangsa yang menghuni satu kota. Bahkan setengan dari jumlah suku bangsa berada di Papua. Ini dapat menjadi ancaman disintegrasi. Ancaman lainnya, bangunan keras: demokratisasi, desentralisasi, dan pemekaran wilayah. Desentralisasi pada saat ini, kata Tamrin, sudah kebablasan. Pemekaran juga luar biasa. Di Lombok misalnya, dari sembilan menjadi 18 kelurahan. Banyak sekali gubernur-gubernur yang tidak berkinerja. Yang terakhir adalah bangunan lunak: kebangsaan, konstitusi, negara dan agama. 

Menurut Manuel Castells di dalam bukunya, The Power of Identity: The Information Age Economy, Society and Culture, kata Tamrin, dahulu negara adalah pihak satu-satunya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun sekarang, negara mendapat saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak berkutik, yaitu terorisme lokal, fundamentalis agama dan suku.

Pakar lainnya, Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi “Asymetric Warfare Strategy”, memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan komunikasi terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan komunikasi semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus dapat menjadi senjata perusak. “Sekarang ini, lini pertempuan akan bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan,” katanya. 


Ia mencontohkan ketika Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin yang memuncak di tahun 1980-an. Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara alamiah. Justru, AS melancarkan asymetric warfare terhadap Soviet. Amerika dan negara-negara barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih bersifat psychological warfare. Secara ideologi, kemunculan Glasnost dan Perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet.

APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?

Fahami lebih mendalam tentang perang asimetris, strategi dan penerapannya, sebelum semuanya menjadi terlambat. Karena waktu terus bergulir dan para aktor semakin banyak bergentayangan. 


Nasionalisme harus terus digelorakan, demi terjaganya keberadaan WNI yang bermartabat yang selalu ikut menjaga dan mempertahankan negara bangsanya agar semakin jaya dalam bingkai NKRI sampai kapanpun.

Referensi :
[1] http://rindam5brw.mil.id/loka-karya--perang-asimetris-bentuk-perang-baru

[2] https://en.wikipedia.org/wiki/Asymmetric_warfare 
[3] How the Weak Win Wars, A Theory of Asymmetric Conict by Ivan Arreguín-Tof






Sumber : 
https://indocropcircles.wordpress.com/2014/06/27/memahami-perang-asymmetric-warfare-strategies-aws/
Original Source: 

https://mardoto.com/2012/05/30/memahami-perang-asimetris/
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blogger Tips and TricksLatest Tips And TricksBlogger Tricks