Sunday, February 7, 2016

Jejak Freemasonry di Bandung dan Kesaksian Warga

Tak hanya di Jakarta, jejak perkumpulan Freemasonry juga ada di Kota Bandung, Jawa Barat dan Loji Sint Jan, adalah salah satu Gedung Loji Fremasonry terbesar yang ada di Hindia Belanda. Sama seperti di Batavia, banyak yang menyebut perkumpulan Freemasonry di kota ini adalah pemuja setan. Tudingan tersebut sempat dibantah dan disebut bahwa itu plesetan dari nama loji mereka Sint Jan.

Loji Sint Jan adalah sebuah gedung tempat berkumpulnya para anggota Freemasonry atau Vrijmetselarij di Bandung. Gedung tersebut dulu sangat terkenal di Bandung karena jadi tempat berkumpul orang-orang besar di Bandung. Bahkan dulu jalan di mana gedung itu ada diberi nama Jalan Loge atau Logeweg. Sekarang berubah menjadi Jalan Wastu Kencana.


Loji Sint Jan (Saint Jean) di Bandung saat masih berdiri.
(Note; Sekarang sudah jadi Masjid)
Foto dari Gedenkboek van de Vrijmetselarij in Nederlandsch Oost Indie 1767-1917
Jejak Freemason di Bandung: Tak Cuma Perkumpulan Gelap
Pengurus Loji Sint Jan, rumah pemujaan perkumpulan Freemason di Bandung pada masa Hindia Belanda. Foto diambil dari buku Gedenkboek van de Vrijmetselarij in Nederlandsch Oost Indie 1767-1917. (CNN Indonesia/Suriyanto)

Selain besar dari sisi jumlah anggotanya, loji Sint Jan juga dikenal sebagai salah satu loji yang paling aktif. Menurut penulis buku “Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Teosofi dan Freemasonry di Bandung”Ryzki Wiryawan, Freemasonry Bandung banyak menggelar aktivitas sosial.

Untuk mendukung kegiatannya, Sint Jan bahkan memiliki beberapa perkumpulan yang ada di bawah mereka. Misalnya organisasi Pro Juventute yang mendidik anak-anak nakal dan lembaga kredit rakyat anti renternir. Loji Sint Jan menurut Ryzki juga membuka perpustakaan dengan koleksi buku yang cukup banyak serta membuka beberapa sekolah.

“Perpustakaan umum Sint Jan tercatat sebagai perpustakaan terbesar yang punya koleksi terbanyak,” kata Ryzki kepada CNN Indonesia.

Perpustakaan ini didirikan pada tahun 1891 dengan nama De Openbare Bibliotheek van Bandoeng di Gedung Kweekschool atau sekolah guru (kini Poltabes Bandung). Setelah dipindahkan ke gedung loji, koleksi perpustakaan ini mencapai 25.883 buku.

Meski belum terkonfirmasi, menurut Ryzki, Soekarno memperoleh asupan buku-buku dari perpustakaan ini saat dipenjara di Banceuy. Di penjara itu, Soekarno menulis pledoi “Indonesia Menggugat”.

Sementara untuk sekolah yang didirikan, Sint Jan mendirikan sekolah-sekolah dari mulai taman kanak-kanak hingga SD dan SMP. Sekolah yang dibangun Sint Jan bersifat netral untuk mengimbangi banyaknya sekolah Kristen dan Katholik saat itu.

Pada tahun 1921, Sint Jan telah membuka tiga SD, tiga sekolah menengah, dan satu TK.

Dalam bukunya, Ryzki menyatakan, Freemasonry di Bandung juga memberi bantuan dalam pendirian lembaga orang buta. Bandoengsche Blinden Instituut ini dibuka pada tahun 1901.

Ryzki menambahkan, jika pada akhirnya Loji Sint Jan dituding sebagai rumah setan itu tidak lebih karena plesetan dari pelafalan nama loji tersebut.

Loji Sint Jan di Bandung berdiri pada tahun 1896. Namun baru pada tahun 1901 bangunan loji mulai dibangun. Sint Jan tercatat sebagai loji ke-13 di Bandung.

Selama proses pembangunan loji, anggota Sint Jan menggunakan sekolah guru (Kweekchool) yang kini menjadi Gedung Poltabes Bandung. 

Loji ditutup saat Jepang datang. Pemerintah Jepang bersama Jerman memang dikenal memusuhi Yahudi dan Freemason. Anggota perkumpulan ini kemudian jadi buronan utama Jepang.

Setelah Jepang hengkang, Loji Sint Jan coba dihidupkan lagi dengan mengumpulkan para anggotanya. Pasca kemerdekaan, loji Bandung adalah satu dari empat loji yang dihidupkan. Bersama Loji Purwa Daksina (Jakarta), Loji Bhakti (Semarang) dan Loji Pamitran (Surabaya), dibentuk Loji Timur Agung Indonesia. Soemitro Kolopaking diangkat menjadi Suhu Agung pertama di Indonesia.

Setahun setelah Soekarno melarang keberadaan Freemasonry, ia memerintahkan gedung Loji Sint Jan dibongkar. 

Kesaksian Lelaki 90 Tahun soal 'Rumah Setan' Freemasonry


Goerjama saksi hidup keberadaan Loji Sint Jan
yang menjadi pusat kegiatan Freemasonry di Bandung
Menurut Goerjama, salah seorang warga Bandung pernah tinggal di sekitar loji, saksi hidup tentang keberadaan Loji Sint Jan yang jadi pusat kegiatan tarekat rahasia Freemason di Kota Kembang dan Goerjama masih ingat betul kejadian di depan bangunan yang kerap disebut sebagai rumah setan oleh warga Bandung sekitar tahun 1937. Pada malam-malam tertentu, di rumah yang tepat berada di seberang Balai Kota Bandung ini, berkumpul tokoh-tokoh Belanda di kota kembang.

Pak Goer, demikian ia sering disapa, saat itu masih berusia 12 tahun. Bersama teman sepermainannya, Goer kecil hanya hanya melihat puluhan orang mendatangi bangunan dengan ciri khas empat pilar besar itu. 
Tak ada yang mencolok dari pakaian yang mereka kenakan.

“Mereka bawa mobil dan bendi,” kata Goerjama. Mobil dan Bendi menurut Goerjama adalah barang yang sangat jarang pada masa itu. Jumlahnya juga sangat sedikit di Bandung dan masuk dalam kategori benda mewah.

Tak lama setelah mereka berkumpul di dalam gedung, dipastikan bakal ada suara menyeramkan terdengar hingga ke luar gedung. Bukan seperti suara orang mengaji di masjid. Pak Goer menyebutnya sebagai suara asing dan menyeramkan.

“Hooo... Hoooo…,” kata Pak Goer sembari menirukan suara yang baginya menyeramkan tersebut. Warga Bandung menurutnya banyak yang menyebut bahwa itu suara memanggil arwah orang yang sudah wafat.

Pria kelahiran tahun 1925 ini yakin, soal rumah setan itu bukan sekadar isapan jempol. Belakangan ia membuktikan sendiri soal hubungan perkumpulan di gedung tersebut terkait dengan ritual pemanggilan arwah.

Sebutan rumah setan diakui Pak Goer, memang desas-desus warga Kota Bandung. Julukan tersebut membuat siapapun yang bukan anggota perkumpulan itu segan atau bahkan takut mendekat. Selain karena sangat tertutup, ritual di gedung tersebut dinilai Pak Goer sangat menyeramkan. 

Selain anggotanya memang para meneer Belanda, gerbang masuk gedung tersebut juga dijaga para centeng. “Mana berani kami mendekat,” kata Pak Goer. “Banyak yang berjaga agar warga tidak masuk,” timpalnya pula.

Mereka yang masuk ke gedung loji adalah para anggota tarekat Vrijmetselarij (Freemason). Para anggota ini menurut Pak Goer, sapaan Goerjama, adalah pejabat-pejabat Belanda yang saat itu masih bercokol di Indonesia.

Kejayaan loji Sint Jan berakhir seiring dengan datangnya Jepang ke Indonesia. Pada Perang Dunia Kedua saat itu, bersama Jerman, Jepang memang sangat memusuhi perkumpulan Freemason.

Mendengar Jepang menang perang di Pasifik dan bakal masuk Hindia Belanda, aktivitas loji dihentikan. Buku-buku yang ada di gedung tersebut dibawa keluar dan dijual ke tukang buku bekas.

Banyak buku yang dibakar. Ryzki Wiryawan, penulis buku “Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Teosofi dan Freemasonry di Bandung” mengatakan, yang paling banyak dimusnahkan adalah dokumen yang memuat daftar anggota perkumpulan.

“Memang sudah ada konspirasi antara Jepang dan Jerman untuk menangkap anggota Freemason dan Yahudi,” kata Ryzki kepada CNN Indonesia.

Era pendudukan Jepang ini jadi era kelam perkumpulan Freemason. Buku-buku yang mencatat perkumpulan ini sangat minim sekali. Salah seorang rekan Pak Goer ada yang menemukan buku soal Freemason dari Loji Sint Jan.

Saat itu Pak Goer tinggal di Yogyakarta karena dibuang oleh Jepang. Iseng membaca buku Freemason itu, teman Pak Goer mengajaknya untuk mempraktikkan isi buku tersebut. Saat itu mereka menempati bekas benteng di kawasan Ambarukmo.

Bersama dua orang teman lainnya, ketiga merancang sebuah media pemanggil arwah berupa tongkat yang dibentuk menyilang. Pak Goer dan tiga orang temannya memegang keempat ujung tongkat tersebut.

Mantra dalam buku tersebut dibaca dengan beberapa bahasa seperti bahasa Indonesia, Jawa, Arab dan Belanda. Tak ada respons pada media tongkat yang mereka pegang saat mantra dibaca menggunakan bahasa Indonesia, Jawa dan Arab.

Namun saat Pak Goer membaca menggunaka bahasa Belanda, tongkat yang mereka pegang mendadak berat. “Seperti ada yang duduk di atasnya,” ujarnya. Dari informasi yang mereka terima, di benteng itu ada makam seorang Belanda, bekas pengurus kuda Sultan Yogyakarta.

Setelah kejadian itu, Pak Goer makin yakin, bahwa perkumpulan Vrijmetselarij di Loji Sint Jan selama ini memang melakukan ritual pemanggilan arwah.

Kini rumah setan atau Loji Sint Jan sudah tidak ada lagi (tak lagi berbekas). Lahan dimana Loji berdiri lamanya sudah diruntuhkan dan sudah berdiri Masjid besar di atasnya, Masjid Al Ukhuwah  yang jadi salah satu pusat kegiatan keagamaan masyarakat Kota Kembang, namun sebelum jadi masjid, bangunan loji Sint Jan, kata Pak Goer, pernah menjadi restoran sunda, gedung pramuka dan gedung resepsi pernikahan.


Dulu 'Rumah Setan' Sekarang Masjid

Masjid Al Ukhuwah yang berdiri di atas lahan di mana dulu Loji Sint Jan ada.
 Kini tak lagi tersisa bekas loji Freemason di Kota Bandung

Tak banyak yang tahu bahwa lahan di mana Masjid Al Akhuwah megah berdiri di jantung Kota Bandung dulunya berdiri sebuah gedung yang ditakuti. Dulu warga Bandung bahkan menyebut gedung tersebut sebagai 'rumah setan'.

Di lahan tersebut dulu berdiri Loji Sint Jan, gedung pemujaan tarekat rahasia Freemason di Kota Kembang. Kini tak ada lagi sisa-sisa bangunan loji di tanah di Jalan Wastu Kencana tersebut. Loji Sint Jan dulu sangat terkenal di Bandung. Saking terkenalnya, dulu jalan di depannya diberi nama Logeweg atau Jalan Loji. Namun meski terkenal, gedung tetap jadi misteri bagi warga. Tak ada yang tahu aktivitas para pengikut tarekat rahasia Freemason di gedung itu. 

Goerjama adalah salah satu saksi hidup keberadaan loji tersebut. 

Liji Sint Jan dibangun tahun 1896. Sint Jan merupakan loji ke -13 di Hindia Belanda. Loji mulai digunakan pada tahun 1901. Dalam perkembangannya, Sint Jan jadi salah satu loji terbesar di Hindia Belanda. Bukan hanya karena anggotanya yang banyak, namun juga aktivitas sosialnya.

Loji diututup oleh Jepang yang memang sangat membenci Freemason. Setelah Jepang pergi, loji kembali dihidupkan dan berganti nama menjadi Loji Dharma. Loji ini sempat menjadi satu dari empat loji Timur Agung Indonesia, perkumpulan Freemason pascakemerdekaan.

Kini Masjid Al Ukhuwah megah berdiri di lokasi bekas “rumah setan” itu. Dalam buku “Okultisme di Bandung Doeloe” karya Ryzki Wiryawan disebutkan, tanah di mana loji pernah berdiri konon dijual kepada seorang muslim yang punya hubungan baik dengan anggota Sint Jan.

Nama Al Ukhuwah yang berarti persaudaraan bahkan disebut masih berbau Freemason. 
Arsitektur masjid ini juga masih mengandung unsur segitiga sacred geometri dari arsitektur Freemason.


Referensi : 

Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blogger Tips and TricksLatest Tips And TricksBlogger Tricks