Friday, March 11, 2016

Bioterorisme, Ebola dan Kepentingan Amerika Serikat

Penyebaran virus Ebola di Afrika pada setiap periode, menimbulkan krisis serius. Pada kasus terbaru, penyebaran virus dimulai pada tahun 2013, dan dalam beberapa bulan terakhir mulai berkurang dan bahkan berdasarkan sejumlah laporan, telah berhasil dibendung.
  
Virus Ebola untuk pertama kalinya ditemukan pada 1976 dan untuk ke-26 kali epideminya, dimulai pada bulan Desember 2013 di Guinea Bissau dan dengan cepat menyebar ke berbagai negara regional termasuk Sierra Leone dan Liberia. 

Virus Ebola pada putaran terbaru telah merenggut 25 ribu nyawa di tiga negara itu di mana 11 ribu di antaranya tewas dalam 18 bulan pertama. Meski media massa Barat melakukan manuver luas soal berakhirnya epidemi Ebola, akan tetapi bukti-bukti yang ada mengindikasikan aktivitas baru virus Ebola di Afrika. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyinggung peningkatan kasus Ebola dan menyatakan bahwa virus tersebut belum benar-benar tertanggulangi, dan masih banyak tantangan yang dihadapi.

Sebagian pengamat menilai Ebola sebagai sebuah virus belaka yang menyebar di Afrika karena kondisi lingkungan hidup di sana. Amerika Serikat serta sejumlah negara Barat lain sedang memberantas virus tersebut. Akan tetapi sebaliknya, ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa virus tersebut merupakan hasil dari rekayasa genetika yang dilakukan Amerika Serikat dan disebarkan di Afrika. AS mengacu banyak kepentingan melalui cara ini. Dengan demikian Ebola dapat dikategorikan sebagai senjata perang baru.

Kamus online Cambrige, mendefinisikan bioterorisme, adalah "aksi kekerasan dengan menggunakan makhluk hidup seperti bakteri, untuk melukai atau membunuh orang lain. Serangan bioterorisme dengan menyebarkan virus, bakteri atau mikroba untuk menciptakan penyakit atau menimbulkan kematian orang lain, hewan atau tumbuh-tumbuhan.” Unsur-unsur tersebut dapat ditemukan di alam, akan tetapi mungkin dapat diubah untuk meningkatkan kemampuannya menjadi penyakit.

Unsur-unsur bioterorisme dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan mekanisme penyebarannya, tingkat epidemi dan volume kematiannya. Kelompok pertama mencakup organisme dan zat-zat racun sangat berbahaya bagi keamanan publik dan nasional. Kelompok kedua adalah yang tingkat penyebaran dan volume kematiannya pada level menengah dan lebih rendah dibanding kelompok pertama. Dan kelompok ketiga adalah pathogen yang muncul dan direkaya untuk potensi epidemi di masa mendatang.

Definisi lain dari bioterorisme adalah penyebaran virus, organisme atau bakteri secara sengaja yang menimbulkan kematian manusia, tumbuh-tumbuhan atau hewan


Bioterorisme berbeda dengan serangan kimia, atom atau radioasi. Serangan-serangan tersebut dibarengi dengan kebakaran, ledakan dan kerusakan. Sementara bioterorisme tidak memiliki dampak atau tanda-tanda tersebut. Sehingga perlu waktu sampai akhirnya jaringan kesehatan mendeteksi penyebaran sejenis penyakit baru.

Unsur atau bahan-bahan yang digunakan dalam bioterorisme biasanya dapat ditemukan di alam dan lingkungan sekitar, hanya saja kemampuan infeksinya ditingkatkan sehingga sangat mematikan dan kebal terhadap obat-obatan. Elemen biologis tersebut dapat menyebar melalui udara, air dan makanan.

Terdapat definisi lain dari bioterorisme yang lebih mengesankan aspek konflik dan permusuhan yaitu; bioterorisme adalah menciptakan kekhawatiran dan ketakutan dengan menggunakan elemen-elemen biologis. Adapun peralatan perang biologis antara lain adalah sarana yang digunakan secara sengaja untuk menyebarkan organisme penyebab penyakit atau sejenisnya melalui air, makanan dan serangga. 


Pandangan baru terhadap fenomena bioterorisme sudah keluar dari lingkup aksi teror dan militer dan segala bentuk aksi terencana yang secara langsung maupun tidak langsung mengancam kesehatan individu dan publik sebuah masyarakat dalam jangka pendek atau panjang, melalui ancaman keselamatan fisik, makanan dan lingkungan, juga termasuk bioterorisme.

Dengan pandangan baru terhadap bioterorime tersebut, bukan hanya bakteri atau virus saja yang menjadi faktor serangan bioterorisme. Melainkan berbagai produk kosmetik yang tercemari dan murah, hingga obat-obatan murah yang tidak kenal dan disebarluaskan di negara-negara dunia ketiga, makanan hasil rekayasa genetika yang belum terbukti keamanannya dan diujicoba di masyarakat dunia ketiga, obat-obat baru oleh perusahaan-perusahaan farmasi yang diberikan secara cuma-cuma kepada negara-negara miskin, suplemen makanan yang mengandung bahan berbahaya untuk kesehatan, serta pencemaran sektor pertanian dan peternakan, semuanya termasuk dalam kategori bioterorisme.

Mungkin contoh paling nyata bioterorisme baru adalah Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan farmasi Amerika Serikat menjadikan masyarakat negara-negara miskin dunia sebagai kelinci percobaan mereka untuk mengujicoba kinerja obat-obat mereka guna mendapat ijin dari lembaga pangan dan obat-obatan negara itu. Budget yang telah ditetapkan sesuai UU di Amerika Serikat, dibelanjakan di negara-negara miskin, guna mempercepat proses pengembangan obat baru untuk anak-anak dan ujicobanya. Negara-negara yang diacu nya adalah yang tingkat layanan kesehatannya rendah dan langkah perusahaan-perusahaan farmasi Amerika Serikat di sana terkesan seperti langkah kemanusiaan. Padahal yang terjadi adalah gelombang bioterorisme terselubung dan meluas terhadap masyarakat miskin dan anak-anak tidak berdosa di negara-negara itu.

Meski senjata biologi tampil sebagai ancaman abad 21, akan tetapi jauh di sejarah masa lampau, sarana-sarana teror seperti itu telah digunakan. Sebagai contoh di masa lalu, pasukan penyerang meracuni sumber-sumber air kota dengan berbagai macam tumbuhan dan jamur beracun yang akan menimbulkan mencret dan berhalusinasi.

Napoleon berusaha menjangkiti warga salah satu kota Italia dengan penyakit malaria. Pasukan Inggris dalam perang melawan Perancis dan India, melancarkan serangan biologis dengan menggunakan virus cacar terhadap warga India. Pada Perang Dunia Kedua, Jepang menyebar kue tercemar virus ke puluhan kota Cina. Pada Perang Dunia Kedua, para mata-mata Jerman membangun sebuah pabrik Anthrax bawah tanah di Washington dan mengujicoba bom-bom Anthrax di sebuah pulau di pesisir barat laut Skotlandia. Pulau tersebut hingga 50 tahun tidak dapat dihuni. Menurut para pengamat, puluhan negara masih mengupayakan produksi senjata biologis.

Pada abad 21, tercatat berbagai kasus kematian akibat epidemi virus-virus berbahaya yang oleh para ahli, semuanya harus dikategorikan dalam pembahasan bioterorisme. Termasuk di antara virus tersebut adalah flu babi. Virus berbahaya H1N1 yang menyebar di India, Cina, Pakistan, Tibet pada tahun 2009 itu semakin meningkat pada tahun 2014. Ribuan orang meninggal akibat virus tersebut.

Flu burung, adalah penyakit lain yang menjangkiti banyak masyarakat di berbagai negara dunia khususnya di Asia. Selain korban jiwa, virus ini juga menimbulkan kerugian ekonomi untuk banyak negara. Akibat virus tersebut pasar Korea Selatan menyaksikan penurunan indeks 1,6 persen sementara Australia bahkan mengalami penurunan indeks hingga minus 0,4 persen. Virus flu burung juga merugikan sektor penerbangan dan harga saham perusahaan-perusahaan penerbangan pun anjlok.

SARS, adalah satu lagi virus berbahaya yang penyebarannya tercatat mulai tahun 2002. SARS menyebar di Cina dan kemudian dengan cepat ke berbagai negara Asia Timur seperti Hongkong, Vietnam dan Singapura, kemudian di negara-negara Amerika Utara seperti Kanada dan Amerika Serikat.

Kemudian ada pula MERS, sebuah virus yang menyerang saluran pernafasan. MERS menyebar pertama kali di Arab Saudi dan kemudian ke lima negara regional, antara lain Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Yaman dan Kuwait. Beberapa kasus MERS juga ditemukan di Inggris, Korea Selatan, Thailand, Perancis, Tunisia, Italia, Malaysia dan Amerika Serikat. Hingga kini belum ada vaksin atau penawar untuk virus tersebut.


Sejarah Virus  Ebola

Penyebaran virus Ebola di Afrika terkadang membuat benua ini menghadapi krisis serius.

Virus Ebola termasuk penyakit mematikan dan untuk pertama kalinya ditemukan di Republik Demokratik Kongo pada tahun 1976. Virus ini berasal dari hewan dan menular ke manusia melalui kontaminasi darah, cairan badan, atau sesuatu yang telah tertular.

Virus ini tidak menular melalui udara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakin bahwa bahaya terkecil adalah penularan melalui pesawat udara. Meski di saat krisis, mayoritas jalur penerbangan ke negara yang terkena wabah Ebola oleh berbagai maskapai dihentikan sementara. Pada Maret 2014 dilaporkan adanya penyebaran virus Ebola di negara Guinea, Afrika barat. Virus ini menyebar pertama kali di Afrika barat dan menimbulkan banyak kematian.

Penyebaran virus Ebola di Guinea, Sierra Leone dan Liberia terus meningkat, sementara di Nigeria dan Sinegal virus ini berhasil dikontrol dan di Mali juga dideteksi adanya virus mematikan ini. Hingga Oktober 2014, lebih dari 10000 orang terjangkit virus Ebola dan lebih dari separuhnya meninggal dunia. Hingga Oktober 2014 tidak ada laporan virus Ebola di luar Afrika. Namun di bulan itu pula, tenaga medis dari Spanyol dan Amerika Serikat terjangkit virus Ebola, padahal mereka tengah merawat penderita Ebola.

Faktor yang memicu penyebaran virus Ebola adalah penyebarannya di Afrika Barat, penyebaran serentak di sejumlah negara, penyebaran virus ini ke wilayah perkotaan dan volume serta cepatnya penyebaran virus. Secara global, antara tahun 1976, ketika Ebola pertama kali ditemukan hingga tahun 2012 tercatat 2387 orang terjangkit virus mematikan ini dan 1590 di antaranya meninggal. Seluruh penderita Ebola tersebut berada di Afrika Tengah dan Timur.

Jumlah kasus Ebola meningkat empat kali lipat dari sebelumnya. Dan parahnya jumlah tersebut setiap bulannya meningkat dua kali lipat. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat dan WHO melaporkan peningkatan pasien Ebola. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat menyebutkan, “Tanpa intervensi langsung atau perubahan dalam perilaku masyarakat, hingga Januari 2015 sebanyak 1,4 juta warga Liberia dan Sierra Leone akan terjangkit virus Ebola.” Namun demikian laju pasien Ebola tidak segencar yang diprediksikan mengingat reaksi cepat penanganannya. Misalnya di Liberia, mekanisme baru penguburan korban dirasa cukup berhasil, sehingga 85 persen jenazah korban selama 24 jam berhasil dikumpulkan.

Pada Agustus 2014, WHO memprediksikan butuh dana 500 juta dolar untuk mengendalikan penyebaran Ebola hingga Januari 2015. Di bulan Desember 2014, reaksi internasional semakin meningkat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk delegasi reaksi cepat Ebola, sehingga delegasi ini ini diberi akses fasilitas penuh berbagai organisasi di bawah PBB guna menyelidiki dampak sosial virus ini dan menjamin kesehatan masyarakat. Kebijakan PBB ini menelan dana sekitar satu miliar dolar dan separuhnya digunakan untuk menindaklanjuti dampak kesehatan Ebola.

Sejumlah pengamat kesehatan dunia mengkritik reaksi AS dan masyarakat internasional terkait Ebola dan menilainya lamban serta kurang dalam memberi bantuan. Seraya mengisyaratkan dampak terbatas langkah tersebut, para pengamat melontarkan sejumlah isu terkait struktur manajemen kesehatan dunia, komitmen masyarakat internasional untuk memperkokoh kapasitas kesiapan dan reaksi terhadap penyakit menular di berbagai negara miskin. Debat pendapat terkait bahwa WHO harus memiliki tim reaksi cepat yang terdiri dari pada pakar kesehatan untuk menangani secara kilat kasus kesehatan seperti penyebaran virus Ebola di Afrika Barat masih terus berlanjut.

Salah satu staf bidang kesehatan di PBB mengatakan, “Di awal penyebaran virus Ebola, dikarenakan kurangnya informasi, sedikit banyak ada pandangan yang congkak dalam menyikapi kasus ini. Namun Saya pikir kini kita telah mendapat pelajaran berharga di kasus Ebola ini.” Organisasi internasional Dokter Lintas Batas (MSF) menyatakan, “Tidak adanya langkah yang diperlukan di tingkat global untuk menangani penyebaran virus Ebola telah meninggalkan dampak sangat menyedihkan.”

MSF terkait peristiwa tahun 2014 mengatakan bahwa pemerintah lokal dan WHO mengabaikan permintaan organisasi dokter lintas batas. Korban terbanyak akibat virus Ebola tercatat di Guinea, Liberia dan Sierra Leone. Korban pertama Ebola adalah anak kecil yang tinggal di wilayah terpencil Guinea pada Desember 2013. Tiga bulan kemudian tepatnya pada Maret 2014, WHO secara resmi mengumumkan penyebaran virus Ebola dan pada Agustus 2014 diumumkan kondisi darurat di seluruh dunia. Saat itu, sekitar 1000 orang meninggal akibat Ebola dan angka ini pada Oktober 2014 mencapai lebih dari lima ribu orang.

Menurut keterangan WHO, meski kasus Ebola di sejumlah negara menurun, namun data global sejak bulan Januari 2015 hingga kini belum mengalami penurunan drastis. Meski WHO pada Mei 2015 secara resmi mengumumkan penyebaran Ebola di Liberia berakhir, namun di Guinea setelah penyebarannya terhenti sementara, pada April 2015 dinyatakan virus Ebola kembali merebak dan terus meningkat.

Sementara itu, sejumlah pasien Ebola di Sierra Leone belum terdaftar dan ini artinya jumlah penderita virus Ebola masih belum dapat dideteksi secara benar. Ilmuwan mengatakan, telah dibuat vaksin yang berhasil membuat tikus kebal dari virus mematikan Ebola. Adapun para pakar mengatakan, ini merupakan virus pertama Ebola yang mampu menciptakan kekebalan tubuh lebih lama terhadap virus Ebola. Vaksin ini mampu disimpan untuk waktu yang lama. Sementara vaksin sebelumnya tidak memiliki kemampuan untuk disimpan dalam jangka panjang dan seiring dengan berlalunya waktu, khasiat vaksin tersebut hilang.

Sementara itu, ilmuwan di Universitas Arizona berhasil membuat vaksin baru yang mengandung sintesis protein virus yang mampu menggerakkan sistem kekebalan tubuh untuk mendeteksi lebih baik virus Ebola serta lebih stabil dalam proses penyimpanan untuk jangka waktu yang lebih lama.

Terkait virus Ebola ada pandangan lain yang digulirkan. Horowitz di bukunya, area sensitif mengatakan, Amerika Serikat sejatinya merupakan pihak yang menciptakan virus Ebola dan memanfaatkannya untuk menjaga kepentingan nasional dan rezim Zionis Israel serta mantan sekutunya di Benua Afrika termasuk Afrika Selatan. Jika kita perhatikan asumsi ini, maka selain mengkaji virus itu sendiri, kita juga harus menganalisa tujuan Washington dari penyebaran virus mematikan ini di Afrika.

Sarana yang digunakan oleh Amerika pastinya tidak terbatas pada Ebola dan negara ini, buktinya Washington telah mengirim virus hidup antraks ke sejumlah negara. Kasus ini menunjukkan program serius Amerika untuk memasuki dimensi perang baru, yakni bioterorisme. Menurut pakar penyakit infeksi dan bakteri, virus mematikan Ebola termasuk salah satu organisme genetik GMO yang dibikin oleh perusahaan industri militer Amerika bersama pejabat tinggi pemerintah Apartheid Afrika Selatan.

Koran Daily Observer, koran terbesar di Afrika Barat mempublikasikan dokumen ilmiah bahwa Amerika Serikat adalah pembuat dan penyebar virus Ebola. Koran ini menulis, Amerika melalui serangkaian penelitian rahasia di Afrika dan dengan sandi nota kesepahaman 200 mengagendakan pembuatan serta penyebaran virus mematikan Ebola. Koran ini di artikelnya yang ditulis Prof. Cyril Broderick menulis, virus mematikan Ebola merupakan salah satu organisme genetik (GMO) yang diproduksi oleh perusahaan industri militer di Amerika Serikat.

Dr. Michelle Medina, spesialis penyakit infeksi dan bakteri Afrika Selatan menyakini “Amerika Serikat memanfaatkan virus Ebola sebagai senjata biologis yang paling ideal, karena virus ini cepat menyebar dan mayoritas penderitanya meninggal. Siapa saja yang memiliki vaksin virus Ebola maka mampu memaksakan kehendaknya kepada pihak lain."

Amerika Serikat di 3 (tiga) sektor militer, politik dan perdagangan menilai kepentingannya tergantung pada proyek virus Ebola. Berbagai media massa Afrika membongkar peran kental Amerika dan Afrika Selatan di era pemerintahan Apartheid di produksi dan penyebaran virus mematikan Ebola demi meraih tujuan busuk genosida di benua Afrika. Media Guinea juga meminta pemerintah negara ini mencegah kedatangan militer AS ke negara ini dengan dalih memerangi virus Ebola. 85 persen dari 10 juta penduduk Guinea adalah muslim dan sisanya mayoritas Kristen. Guinea merupakan salah satu pusat penyebaran Ebola dan sepertinya Amerika dengan ambisi yang telah ditentukan dan selama satu periode tertentu berupaya mengejar kepentingannya di benua Afrika.

Mencermati skala penyebaran virus Ebola di Afrika yang begitu luas, hal ini menunjukkan bahwa virus tersebut di negara-negara yang tercemar, meski mereka dikategorikan negara miskin, namun sejatinya mereka mendapat anugerah dari Allah berupa kekayaan alam melimpah. Tentu saja kekayaan alam ini mengundang ketamakan Amerika Serikat. Selain itu, Washington pun berusaha keras membendung pengaruh ekonomi Cina dan Rusia di kawasan ini.

Realitasnya adalah persaingan senjata dua kekuatan besar Uni Soviet dan Amerika Serikat di era perang dingin telah mendorong para ilmuwan menciptakan senjata biologi dari virus. Amerika Serikat tanpa mengisyaratkan ujicoba di laboratorium rahasianya untuk memproduksi virus mematikan Ebola, mengklaim bahwa seorang sumber terpercaya dan mengetahui program militer Uni Soviet pergi ke Amerika, ia telah mengkonfirmasi keputusan Uni Soviet untuk memanfaatkan virus Ebola di hulu ledak senjatanya. Setelah itu, pemerintah dan militer Amerika giat memproduksi vaksin wabah ini.

Republik Guinea adalah negara terkaya, namun juga termiskin di benua Afrika. Negara ini memiliki sepertiga cadangan bauksit (bahan biji almunium) dan menjadi negara kedua produsen besar bahan mentah ini di dunia. Guinea juga memiliki cadangan emas, intan dan biji besi. Bahkan di berbagai wilayah dan titik di ibukota atau wilayah lain di negara ini, partikel besi mudah disaksikan. Pendapatan negara ini dihasilkan dari tambang kekayaan alam tersebut. Oleh karena itu, diprediksikan selama sepuluh tahun ke depan akan ada investasi sebesar 50 miliar dolar di Guinea. Dalam hal ini, persaingan terbesar untuk investasi di Guinea adalah antara Cina dan Amerika Serikat.

Negara-negara seperti Guinea, Liberia, Mali, Seirre Leone dan berbagai negara lainnya di Afrika dapat menjadi target menggiurkan untuk mendapat bahan baku murah namun berkualitas tinggi seperti bauksit, tembaga, emas, besi dan lain-lainnya. Liberia dan Seirre Leone juga termasuk negara kaya akan biji besi, intan dan titanium. Oleh karena itu, selain AS, Cina selama beberapa tahun terakhir juga menunjukkan perhatiannya yang serius terhadap benua Afrika. Di tahun 2006, petinggi Cina menyatakan ingin menimbun tembaga, aluminium, biji besi dan berbagai bahan tambang lainnya.

Oleh karena itu, volume perdagangan Cina di Afrika dari 10 miliar dolar di tahun 2000 melonjak menjadi 166 miliar dolar di tahun 2012. Dengan demikian, Cina menjadi mitra dagang pertama Afrika. Masalah ini tentu saja membuat guncang Amerika Serikat. Cina juga tercatat sebagai investor utama di benua Afrika di tahun 2012 dengan nilai investasi lebih dari 15 miliar dolar.

Pandangan istimewa Beijing kepada Afrika, khususnya barat benua ini dari satu sisi juga didorong oleh adanya cadangan minyak sebesar 60 miliar barel. Mengingat persaingan minyak semakin tajam, untuk meragamkan sumber energi dan jaminan stabilitas energi, pemerintah Barat, khususnya Amerika Serikat berusaha sebisa mungkin menjauhkan Cina dari kekayaan Afrika dan akhirnya Washington mampu memonopoli kekayaan alam benua hitam ini. Untuk mensukseskan ambisinya ini, Amerika memanfaatkan beragam sarana termasuk virus Ebola.

Oleh karena itu, tak heran jika kita menyaksikan proses pengiriman pasukan Amerika ke Liberia dengan dalih memerangi virus Ebola atau penempatan pangkalan drone di berbagai wilayah terpencil seperti Niger, Djibouti, Burkina Faso dan Sudan Selatan serta dukungan intelijen Amerika Serikat kepada pasukan Perancis di Mali. Dengan demikian salah satu faktor yang mendorong Washington mengupayakan perluasan pengaruh Barat di Afrika adalah mengeruk sumber alam tersebut dan dari sisi lain mencegah pengaruh Cina di kawasan ini.

Amerika Serikat dengan memanfaatkan Ebola, mulai mengirim pasukannya ke kawasan ini dengan kedok bantuan memerangi penyebaran Ebola, menjaga perdamaian atau tim medis di Afrika Barat. Sejatinya Amerika berupaya memanfaatkan krisis ini untuk menciptakan sebuah posisi kokoh di benua Afrika guna mengepalai US Afrika Command (AFRICOM) yang dibentuk tahun 2008 demi melancarkan operasi imperialis Washington di kawasan ini. Liberia merupakan satu-satunya negara Afrika yang sejak lama siap menjadi tuan rumah AFRICOM.

Wabah Ebola menjadi dalih paling tepat untuk menempatkan ribuan pasukan Amerika dan kehadiran permanen mereka. Presiden Amerika Serikat pada 16 September 2014 menyatakan, akan dibentuk sebuah pusat komando bersama guna mengkoordinir dan mengawasi operasi bantuan Amerika di Liberia. Tak lama kemudian ambisi ini terwujud dan terlaksana tanpa adanya sensitifitas serius di opini publik.

Sejatinya Liberia merupakan negara paling buncit di list negara-negara Afrika yang sepanjang beberada dekade lalu mendapat kiriman personil dan peralatan militer dari Amerika Serikat. Operasi pertama dan terpenting AFRICOM di benua Afrika adalah bombardir AS dan NATO ke Libya di tahun 2011 yang berujung pada tergulingnya Muammar Gaddafi.

Di tengah-tengah eskalasi ancaman akibat penyebaran virus Ebola, Amerika dengan dalih menanggulangi virus mematikan ini dan bantuan cepat kemanusiaan di Afrika barat, mengkonfirmasikan pengiriman empat ribu pasukannya ke kawasan. Kongres di bulan Desember 2014 meratifikasi bujet sebesar 5,4 miliar dolar untuk menanggulangi penyebaran virus Ebola baik di dalam maupun di luar negeri. uniknya petinggi AS pasca ditemukannya sebuah kasus Ebola di Texas menginstruksikan pembentukan sebuah tim medis guna menangani virus ini di seluruh wilayah Amerika serta harus dalam kondisi siaga penuh. Namun terkait virus Ebola di Afrika yang menyebabkan kematian ribuan orang, Washington merasa cukup mengirim empat ribu tentaranya ke kawasan.

Oleh karena itu sepertinya Washington tengah berupaya meningkatkan pengaruh militer dan politiknya di Guinea, Liberia dan mencegah maraknya pengaruh Cina di tambang-tambang negara tersebut. Selain itu, AS ingin memperluas hubungan perdagangannya dengan negara-negara kaya Afrika. Sejatinya dari sudut pandang strategi AS, membangun dan mempertahankan pangkalan militer di berbagai wilayah kaya Afrika di saat militeralisasi untuk memperluas wilayah dan imperialisme telah kehilangan legalitasnya di dunia akibat tekanan opini publik, maka dengan dalih kemanusiaan dan memerangi wabah virus mematikan, ambisi ini masih tetap dapat dipertahankan.

Sejatinya dapat dikatakan bahwa Barack Obama, presiden Amerika dengan dalih menanggulangi Ebola hanya merasa cukup mengirim pasukannya ke Afrika, namun yang benar adalah hanya tim medis dengan kemampuan tinggi yang mampu membunuh virus Ebola dan bukannya senjata. Penyidikan membuktikan bahwa Gedung Putih berusaha menjegal rival-rivalnya di tingkat internasional semakin kuat melalui beragam kebijakan. Apalagi Cina yang tercatat sebagai investor terbesar asing di dunia hingga akhir dekade kedua abad ini merupakan rival utama Washington di konstelasi internasional.

Merebaknya wabah SARS di Cina terjadi ketika Barat mengalami resesi ekonomi dan kondisi ini mampu menghambat laju ekonomi Beijing. Sementara penyebaran virus Ebola diharapkan mampu mendorong investor Cina lari dan posisi kosong yang ditinggalkan di Afrika akan diisi oleh perusahaan Amerika.

Sementara di sudut pandang kepentingan politik, penyebaran wabah Ebola bagi mesin-mesin investasi Amerika adalah menciptakan citra kemanusiaan negara ini di media internasional. Meningkatkan popularitas Amerika di mata opini publik dunia termasuk Afrika menjadi tujuan penting diplomasi global Washington. Hal ini dikarenakan Gedung Putih menyadari bahwa legalitas yang timbul akibat diplomasi umum dapat mensukseskan ambisi Amerika tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal.

Sejatinya dibalik kedok sebuah misi kemanusiaan dengan tujuan menangani penyebaran virus Ebola, pemerintah Obama memanfaatkan wabah ini untuk menciptakan peluang politik dan militer yang kuat di benua Afrika. Sama seperti ketika Washington memanfaatkan vaksin Ebola dan sikapnya bersama Kanada yang enggan menyerahkannya kepada sekelompok negara Amerika Latin yang tidak sejalan dengan Gedung Putih, tentunya dengan berbagai dalih.

Analisa global terhadap berbagai bukti dan dokumen yang ada soal virus Ebola menunjukkan bahwa Amerika Serikat memanfaatkan wabah mematikan ini untuk merealisasikan tujuan ekonomi, politik dan militernya di benua Afrika. Kini AS melalui senjata biologinya telah mempersiapkan kehadiran luasnya di Afrika. Ujicoba militer AS dengan menyebar virus mematikan ke berbagai wilayah ditujukan untuk permainan propaganda dan media guna menjalankan tujuan yang telah digariskan sebelumnya. Sepertinya kebijakan Amerika ini tidak terbatas di benua Afrika, dan negara ini kemungkinan besar serta di masa mendatang akan memanfaatkan bioterorisme untuk mensukseskan kepentingannya.

Sumber : http://parstoday.com/id/radio/programs-i886-bioterorisme_ebola_dan_kepentingan_amerika_serikat
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blogger Tips and TricksLatest Tips And TricksBlogger Tricks